Pengungsi korban Merapi yang kembali ke rumah menghadapi ancaman kekurangan pangan. Warga Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengantisipasi dengan membangun lumbung pangan, obat-obatan, dan air.
Warga khawatir bantuan selama masa rehabilitasi tidak cukup. Mereka juga tidak mungkin mengandalkan hasil panen padi, sayuran, dan umbi-umbian, ataupun ikan karena mati terkena abu vulkanik Merapi.
Lumbung dibangun di Dusun Diwak untuk memenuhi kebutuhan 4.500 penduduk 12 dusun di Desa Sumber. ”Setiap dusun akan diwakili satu warga yang bertugas mendata warga yang kekurangan makanan, kemudian mendistribusikan logistik dari lumbung,” kata Koordinator Posko Palguna Padepokan Prasetya Budya Desa Sumber, Prasetya Adi Wibawa, Senin (15/11) di Magelang.
Prasetya mengatakan, posko pedepokan berupaya mencari donatur karena logistik yang tersisa tidak mencukupi kebutuhan pangan sekitar empat bulan.
Kepala Dusun Ngargotontro, Desa Sumber, Maryono mengatakan, warga juga membutuhkan lumbung air. Penyebabnya, sumber-sumber air di Desa Sumber kotor, berbau belerang, dan pipa penyalur air hancur terkena banjir lahar dingin.
Warga sejumlah desa di Kecamatan Kemalang dan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, yang kembali dari pengungsian juga membutuhkan bantuan air bersih. ”Air berbau anyir, mengandung belerang dan sulfur. Kami kesulitan untuk mendapatkan air bersih,” kata Parwito, warga Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang.
Kepala Desa Sidorejo Suroso mengatakan, warga yang kembali ke desa sekitar 500 orang. Mereka tinggal sekitar 10 km dari Merapi. ”Kami akan berkoordinasi dengan pemkab supaya ada bantuan air bersih,” kata Suroso.
Seiring penurunan radius bahaya Merapi di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten, hingga Senin pagi tercatat sebanyak 40.209 pengungsi kembali ke rumah.
Ada juga warga yang nekat kembali ke rumah mereka di zona bahaya Merapi. Pada Minggu malam, aparat kepolisian terpaksa mengevakuasi sekitar 300 pengungsi dari Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Boyolali, ke balai desa yang berjarak lebih dari 10 km dari puncak Merapi. ”Kami sudah kangen rumah. Lagi pula, ternak juga harus diurus,” kata Hartono (40), warga Dusun Surjo, Desa Sukabumi.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, sejumlah pengungsi juga nekat kembali ke rumah meski masih dalam radius bahaya. Di pengungsian Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta, misalnya, sejumlah 239 orang, sebagian besar warga Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, pulang ke rumah.
”Kalau di pengungsian, saya tidak punya aktivitas. Hanya makan dan tidur. Saya lebih senang bekerja di sawah,” kata Mujiono, warga Dusun Dongkelsari, Desa Wukirsari, Cangkringan.Gunung Kelud
Kondisi pascaletusan Gunung Kelud, Februari 1990, yang mengambil korban sedikitnya 34 jiwa mirip seperti yang terjadi saat ini di Gunung Merapi.
Ribuan rumah warga di lereng Kelud, baik di wilayah Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, maupun Kabupaten Malang, tertimbun abu vulkanik. Sebagian di antaranya rusak, bahkan roboh.
Mantan Kepala Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, Jumali mengatakan, pascaletusan Kelud, pemerintah menawarkan transmigrasi ke Kalimantan, Sumatera dan Papua bagi warga desanya yang berjarak 10 km dari Kelud.
Namun, tawaran transmigrasi ditolak masyarakat. Mereka memilih membangun desanya. Begitu diizinkan kembali ke rumah, masyarakat langsung bekerja. Mereka membenahi rumah, menggarap ladang dengan cara membabati tanaman yang mati dan menyingkirkannya.
Ketebalan abu vulkanik di ladang mencapai setengah meter. Masyarakat langsung membuat larikan di ladang sampai menyentuh tanah lama. Petani menanam nanas, jagung, pepaya, serta tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, dan tanaman keras pada larikan tanah.
Setelah enam bulan, mereka menuai hasilnya. Ternyata, produktivitas tanaman meningkat 100 persen. Jagung yang sebelumnya hanya 5-6 ton per hektar, bisa mencapai 10 ton per hektar. Buah nanas pun rasanya menjadi lebih manis.
Menurut Suparjo, tokoh masyarakat Desa Candi Sewu, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, saat itu tidak ada program kerja padat karya ataupun program pinjaman modal usaha.
”Selama menunggu hasil panen, masyarakat bekerja serabutan. Ada yang cari kayu di hutan, ada yang bekerja di perkebunan,” katanya. Berkat ketekunan mereka, warga Kelud meraih hidupnya kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar